Kategori atau klasifikasi [muda vs tua] macam ini tentu saja merupakan kategori fisik semata, dimana yang muda selalu dipandang memiliki ketahanan stamina, pikiran, energi, daya dobrak atas kemapanan dan lain sebagainya. Meski tidak selalu setiap yang muda secara fisik lebih dari yang tua, menurut ukuran atau batasan umur dan atau berdasarkan tahap-tahap perkembangan sebagaimana dalam narasi psikologi perkembangan.
Selain itu, secara comman sense istilah itu mungkin akan lebih mudah difahami meski dalam sifat dan identitasnya yang terbatas, sejauh bertolak dari semangat atau cita-cita dasar yang integratif-progresif dalam konteks keindonesiaan. Karena itu yang tersirat dari kosa kata politik “Kaum Muda”, hemat penulis, lebih merupakan sebentuk gerakan politik yang identik dengan semangat patriotisme dan heroisme politik yang dibayangkan bersifat progresif tadi.
Dalam konteks historis, biasanya kepemimpinan kaum muda atau “The Young Leader” yang belakangan diusung adalah akumulasi dari segenap kekecewaan atau keprihatinan atas kepemimpinan politik yang selama ini tak kunjung mampu membawa rakyat untuk keluar dari jerat kultur politik anti-pembaharuan tadi. Karena itu gerakan kepemimpinan kaum muda menjadi sejenis manifesto politik yang hendak menyuntikkan darah segar optimisme bahkan mungkin terselip utopianisme di tengah krisis kepemimpinan politik yang belum steril dari kekuasaan masa lalu.
Dimasa lalu, terutama ketika era penjajahan, gerakan macam ini lazim terjadi sebagai letupan perlawanan sekaligus roh atau spirit yang memanifestasikan diri dalam ideom atau bahasa patriotisme dalam rangka melawan ketidakadilan struktur sosial politik ekonomi, sebagaimana juga lazim di era perang dunia II pada umumnya.
Tokoh-tokoh seperti, Budi Utomo, Hatta, Sjahrir, Bung Karno, dan sejenisnya adalah beberapa contoh figur atau individu yang mampu membawa aspirasi sekaligus mengatasnamakan kebangkitan kaum muda Indonesia dalam merebut cita-cita kedaulatan yang saat itu sudah dibangun bertahun-tahun oleh para patriotis kemerdekaan Indonesia. Sehingga diusia mereka yang muda, mereka saat itu mampu megobarkan semangat heroisme dan patriotisme yang tidak hanya kukuh dengan utopianime, tapi lebih dari itu adalah kemampuan integrasi dan transformasi kultur politik yang lebih progresif.
Selain itu menelisik hubungan antara bahasa dan kuasa juga menjadi penting. Terutama ketika bahasa secara alamiah lahir sebagai ungkapan emotif dengan ideom atau istilah yang lebih berpihak pada bentuk ketimbang isi. Dalam pengertian bahwa bahasa dalam sejarah kekuasaan menjadi instrumen yang vital dalam memformulasikan kenyataan politis, meski tidak selalu memuat unsur ekspresif dan makna dari setiap ideom yang terucap, kecuali sebatas konsep yang terbatas.
Karena itu kata-kata atau ideom politik kadang kosong secara maknawi bahkan secara diam-diam menjadi pelayan bagi heroisme, sebagimana tampil dalam struktur kekuasaan yang hirarkis abad pertengahan lalu. Meski tidak dapat ditampik bahwa dengan bahasa individu menjadi universal sekaligus impersonal sebagaimana tampil dalam figur tokoh yang merefleksikan semangat perjuangan dan kepahlawanan.
Dalam konteks ini bahasa politik “Kaum Muda” juga identik sebagai letupan emotif, yang boleh jadi ia membuka momen transisi politik dalam tahap kebudayaan Indonesia kini. Karena dengan itu kondisi separasi individu dan dunia di luarnya akan terlihat jelas, ketika kondisi negatif dalam tatanan politik itu muncul, dan dengan itu juga tersedia momen transisi politik baru, sekaligus memberi ruang kemungkinan baru dari semangat yang tak lagi melihat isi atas ideom yang muncul.
Hal tersebut setidaknya untuk menegaskan bahwa letupan emotif yang muncul dari gerakan “Kaum Muda” juga sebenarnya memiliki bobot atau kekuatan politik yang lebih progresif dalam konteks negara modern. Sehingga bahasa sebagai instrumen kekuasaan hirarkis yang sempat menjadi pelayan heroisme dimasa kerajaan absolut, kini memiliki kemajuannya dalam konteks politik masa kini.
Setidaknya ini terlihat ketika istilah kepemmpinan “Kaum Muda” muncul dalam perhelatan politik Indonesia yang melahirkan banyak kontroversi seputar isi dan makna dari istilah tersebut. Sehigga terjebak dalam esensialisme kebudayaan. Padahal formulasi bahasa yang tampil dalam ideom tersebut sesungguhnya hanya ingin menunjukan sebentuk peran kaum muda dalam rangka mewujudkan cita-cita luhur atau membangkitkan semangat “nobility” kaum muda yang hendak membuka lorong baru bagi masa depan politik Indonesia, terutama untuk keluar dari jerat krisis dan struktur dominan dalam kekuasaan Indonesia mutakhir.
Karena itu ideom atau bahasa yang digunakan kaum muda tidak hanya bersifat emotif, sebab dalam konteks kekuasaan politik modern, individu memiliki posisi penting, sehingga tidak jatuh dalam semangat yang massif, meski hal itu niscaya terjadi dalam politik. Tetapi meski demikian, selalu terletak diferensiasi dengan konteks kekuasaan hirarkis masa lalu, yang lebih menekankan bahasa sebagai ungkapan emotif ketimbang ekspresif dalam menggapai cita-cita patriotisme dan heroisme.
Hal itu, setidaknya untuk melihat dan menempatkan bahwa istilah itu tidak hanya kosong dan bualan disiang bolong semata. Sehingga segenap cita-cita etis yang diusung tenggelam ditengah sampah-sampah peradaban akibat dari kolonisasi yang privat atas yang publik yang kini sedang menggejala dalam ruang publik demokratis.
Praktik diam-diam koorporasi yang mengintervensi kebijakan, perselingkuhan diam, manifulasi data dan informasi adalah contoh paling vulgar dari bentuk kolonisasi yang privat ke yang publik. Sehingga seiring dengan itu cita-cita dan idealisme “Kaum Muda” kerap terseok dan tergoda oleh gundukan modal/uang serta pesona nan elok kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar